DAFTAR ARTIKEL

  • BAHASA,
  • DAN SASTRA
  • SOSIAL
  • TEORI

WELCOME TO MY BLOGGER

SUPRIADI GB PATTOLA

Senin, 20 Desember 2010

SEMANTIK

TELAAH SEMANTIK
Dengan demikian, yang muncul adalah Darma Wanita (organisasi ibu-ibu pegawai) dan Bukan Perempuan Biasa dan tentulah tentu bukan “*Darma Betina” atau pun “*Bukan Betina Biasa”. Singkat kata, kata betina memuat makna (1) ‘jenis kelamin binatang’, (2) ‘cerewet, usil, dan (3) ‘haus seks’, serta (4) ‘generasi yunior dari garis istri’. Apa Arti Wanita? Sejarah kontemporer bahasa Indonesia, ya sekarang ini, mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu (”Kamus Linguistik”, Kridalaksana, 1993: 12). Menurut KD (1970: 1342), kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan.Maka, bisa dimengeri bahwa yang muncul dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah “Darma Wanita”, sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami,1) jangan bermimpi bisa independen memang bukan itu misinya. Dalam KBBI (1988: 1007), wanita berarti ‘perempuan dewasa’. Sama seperti halnya KD, meski dengan redaksi lain, KBBI pun mendefinisikan kewanitaan (bentuk derivasinya) sebagai “yang berhubungan dengan wanita, sifat-sifat wanita, keputrian”. Maka, memang aneh bin ajaib, bahwa kata yang demikian kita hormati, bahkan kita letakkan pada tempat tinggi di atas kata perempuan ini, maksudnya ya wanita itu, ternyata berasal dari kata rendah betina. Mungkin karena itulah, organisasi “Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia” (Iwapi) sering dipelesetkan artinya tentu saja, oleh pria menjadi “Iwak-e Papi-papi”, “Dagingnya bapak-bapak” atau “Lauknya Bapak-bapak” seakan wanita itu tak lebih dari “daging” atau “lauk-pauk” yang bisa dikonsumsi oleh pria. Dalam karier militer pun, dipakai wanita. Misalnya saja “Korps Polisi Wanita” (Polwan, 1948), “Korps Wanita Angkatan Darat” (Kowad, 1961), “Korps Wanita Angkatan Laut” (Kowal, 1962), “Korps Wanita Angkatan Udara” (Wara, 1963). Kesetiaan wanita dinilai tinggi, dan soal kemandirian wanita tidak ada dalam kamus. Karenanya, dalam bahasa Indonesia kata wanita bernilai lebih tinggi sebab, kata Ben Anderson (1966), bahasa Indonesia mengalami “jawanisasi” atau “kramanisasi”: kulitnya saja bahasa Melayu yang egaliter, tetapi rohnya bahasa Jawa yang feodal itu. Dalam persepsi kultural Jawa pulalah, kata wanita menemukan perendahan martabat ketika ia “dipakai” salah satu barang klangenan (barang-barang untuk pemuasaan kesenangan individu). Jargon lengkap populernya adalah harta, senjata, tahta, wanita. Lelaki Jawa, menurut persepsi Jawa ini, baru benar-benar mampu menjadi lelaki sejati, lelananging jagat, bila telah memiliki kekayaan berlimpah (harta), melengkapi diri dengan kesaktian dan senjata (senjata), agar dapat memasuki kelas sosial yang lebih tinggi, priyayi (tahta), dan semuanya baru lengkap bila sudah memiliki banyak wanita, entah sebagai istri sah entah sekadar selir atau gundik4). Di pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita, pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam pembangunan, dan pastilah bukan *Menteri Peranan Perempuan, *pengusaha perempuan (*perempuan pengusaha), *insinyur perempuan, *peranan perempuan dalam pembangunan. Dalam KD (1970: 853), kata perempuan berarti ‘wanita’, ‘lawan lelaki’, dan ‘istri’ . Menurut KD, ada kata raja perempuan yang berarti ‘permaisuri’. Dengan contoh ini kata ini tidak berarti rendah. Sementara itu, kata keperempuanan berarti ‘perihal perempuan’, maksudnya pastilah masalah yang berkenaan dengan keistrian dan rumah tangga. Maka, ia pun tidak mampu menyembunyikan keheranannya berikut: “… Yang agak aneh dalam tjara berpikir ini ialah apa sebab perempuan tempat kehormatan itu semata-mata diperuntukkan bagi wanita, sedangkan hormat dan bakti setinggi-tingginya menurut adat ketimuran djustru datang dari kaum wanita, terhadap suami.” Itulah sebabnya, tidak sedikit aktivis gerakan perempuan baik yang di bawah payung lembaga pendidikan formal maupun yang lebih suka malang melintang di alam bebas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih suka memilih kata perempuan daripada wanita untuk organisasi mereka. Misalnya Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan Merdika (Jakarta), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK, Jakarta), Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA, Yogyakarta), Sekretariat Bersama Perempuan Yogya (Yogyakarta), Forum Diskusi Perempuan Yogya, Suara Hati Perempuan, Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), dan Gerakan Kesadaran Perempuan–sekadar menyebut beberapa contoh.

Kamis, 15 April 2010

pragmatik 2

pragmatik 2

PRAGMATIK

1. Secara literal boleh saja mengartikan deiksis menjadi ‘menunjuk dengan bahasa’, misalnya itu dalam kalimat Lihat gadis itu! (itu akan bersifat deiktis karena gadis mana yang dimaksud tentu tergantung pada penutur; dan itu dalam kalimat tersebut memang berupa pronomina demonstratif yang deiktis [wajar kalau bisa menunjuk]).

2. Deiksis berakar pada persona pertama tunggal dan menyangkut pada persona, waktu (waktu penutur menuturkan sesuatu dan waktu tersebut adalah saat ini), dan ruang (tempat penutur berada sewaktu ia menuturkan tuturan), misalnya Sekarang hujan (waktu), dan Udin ada di sini (tempat).

3. Pembicaraan deiksis persona tentu akan melibatkan pronomina personal (yang akan dibagi menjadi persona pertama, kedua, dan ketiga [ternyata untuk urusan deiksis, hanya persona pertama, misalnya saya, aku, dan kedua, misalnya engkau, kamu, yang bersifat deiktis, sedangkan persona ketiga tidak selalu bersifat deiktis], posesif, dan demonstratif [ketiganya memang sudah ditakdirkan untuk bersifat deiktis, bawaan lahir]).

4. Dalam bahasa Barat, ada banyak prononomina posesif (dalam bahasa Inggris: my, your, his, her, our, dll.; dalam bahasa Jerman: mein, dein, sein, ihr, unser, dll.), namun yang dipakai dalam bahasa Indonesia adalah pronomina personal yang diafikskan pada nomina untuk menyatakan milik (misalnya, Anda yang dilekatkan pada nomina buku untuk menyatakan ‘buku milik “Anda”‘: Buku Anda atau -nya pada Bukunya).

5. Contoh persona demonstratif dalam bahasa Indonesia adalah ini yang mengacu pada sesuatu yang di tempat penutur, disebut juga ‘persona pertama’ dan itu yang mengacu sesuatu tempat yang bukan tempat penutur, disebut juga ‘persona ketiga’.

6. Bergeser ke kata kerja (verba), kita bertemu deiksis leksikal verbal yang langsung memperkenalkan verba yang deiktis dalam semua bahasa (wow!), misalnya datang yang berarti ‘bergerak menuju penutur’ dan pergi yang berarti ‘menjauhkan diri dari penutur’, keduanya sama dengan to come dan to go dalam bahasa Inggris.

7. Ada lagi yang lain, deiksis gramatikal (pasti ada hubungannya dengan tata bahasa) yang dengan bangga memperkenalkan kalimat jenis imperatif yang jelas-jelas deiktis karena dapat mengungkapkan kehendak penutur (misalnya, Kerjakan itu segera!).

Yak! Kalimat ketujuh sudah tertulis, encik dosen tamu harus pamit. Walau belum selesai pembahasan ini, encik dosen tamu sudah harus pamit. Tujuh tambah tujuh empat belas, encik dosen tamu memang harus pamit. Salam. Kita berjumpa di edisi depan.

Rujukan: Verhaar, J.W.M. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.